Konsep Akal Dalam Al-Qur’an -
Dari segi bahasa, akal yang telah di-Indonesiakan berasal dari kata
al-‘aql. Dengan kekuatan akal orang mendapatkan ilmu dan ilmu yang
digunakan serta dimiliki oleh manusia bergantung pada kekuatan akalnya.
Selain itu akal adalah al-hijr, menawan atau mengikat. Kata tersebut
dari segi bahasa pada mulanya berarti; tali pengikat, penghalang.
Al-Qur’an menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat atau menghalangi
seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Orang yang berakal
adalah orang yang mampu mengikat atau mengendalikan hawa nafsunya.
Kemampuan seseorang untuk mengikat hawa nafsu, akan menempatkan hawa
nafsu pada posisi yang serendah-rendahnya, sehingga hawa nafsu tidak
dapat menguasai dirinya, ia akan mampu memahami wahyu sebagai kebenaran.
Orang yang tidak mampu menawan hawa nafsunya tidak akan mampu
mengendalikan dirinya.
Selanjutnya akal mengandung arti
kebijaksanaan, pemahaman. Ada pula yang mengartikan akal dengan
pembatasan dan pencegahan, perlindungan atau kemampuan seseorang untuk
menemukan dirinya sendiri. Di sini diartikan orang berakal adalah orang
yang mampu membatasi dan mencegah hawa nafsunya serta memberikan
perlindungan sampai pada batas-batas yang diperlukan. Dengan demikian
akal akan mampu melihat kebenaran. Nampaknya bahwa hawa nafsu tidak
dihilangkan sama sekali, sebab ia diperlukan dalam kadar tertentu. Dalam
batas-batas itulah di bawah kendali akal seseorang akan mampu menemukan
jati dirinya.
Pada zaman jahiliyah, kata akal dipakai dalam arti kecerdasan praktis, dalam istilah psikologi modern di sebut sebagai kemampuan memecahkan masalah. Orang berakal adalah orang yang mempunyai kemampuan atau keterampilan menyelesaikan masalah, kapanpun masalah itu timbul ia akan mampu menyelesaikan dan mengatasinya, sehingga ia akan dapat menghindari dari bahaya itu, kemampuan praktis seperti ini sangat dihargai oleh orang Arab zaman Jahiliyah
Ibn Khaldun mengartikannya sebagai akal,
fuad inilah yang dimaksud dengan pikiran. Berpikir ialah upaya mencapai
bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya berfungsi
sebagai pembuat analisa.
Al-Jurjani mengemukakan beberapa
pengertian akal sebagai berikut; akal ialah substansi jiwa yang
diciptakan Allah SWT, yang berhubungan dengan badan manusia, akal juga
berarti cahaya (nur) dalam hati untuk mengetahui kebenaran dan kebaikan.
Adapula yang mengartikan akal dengan substansi yang murni dari materi
yang hubungannya dengan badan dalam bentuk yang mengatur dan
mengendalikan. Menurut pendapat lain, akal adalah sebuah kekuatan bagi
jiwa berpikir, karena jelas bahwa kekuatan berpikir berbeda dengan jiwa
yang berpikir. Sebab pelaku perbuatan (fa’il) sebenarnya adalah jiwa,
sedangkan akal adalah alat bagi jiwa.
Dari kutipan di atas dapat dipahai bahwa
akal merupakan substansi yang sangat penting dalam diri manusia dan
sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran
dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Al-Jurjani juga
mengatakan bahwa akal juga berguna untuk memikirkan hakikat sesuatu yang
tempatnya masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan ia terletak di
kepala, pendapat lain mengatakan ia terletak di dalam kalbu.
Para teolog Islam mengartikan akal
sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail akal
adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan yang membuat seseorang
dapat membedakan antara dirinya dan benda lain. Akal juga mampu membuat
abstraksi benda-benda yang ditangkap panca indera”.
Pengertian yang jelas tentang akal, terdapat dalam pendapat-pendapat para filosof muslim. Pemikiran mereka juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran para filosof Yunani. Akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa yang terdapat dalam diri manusia.
Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.
Pengertian yang jelas tentang akal, terdapat dalam pendapat-pendapat para filosof muslim. Pemikiran mereka juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran para filosof Yunani. Akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa yang terdapat dalam diri manusia.
Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.”
“Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.”
Menurut Syaikh Al Albani berkata
“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dari mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”
“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dari mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”
Menurut Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata
“Akal ada dua macam yaitu : Thabi’I dan diusahakan. Yang thabi’I adalah yang dating bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bilangsenang, dan menangis bila tidak senang.
“Akal ada dua macam yaitu : Thabi’I dan diusahakan. Yang thabi’I adalah yang dating bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bilangsenang, dan menangis bila tidak senang.
Kemudian seorang anak akan mendapat
tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah
sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang
menjadi pikun. Tambahan ini adlah akal yang diusahakan.
Adapun ilmu maka setiap hari juga
bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia,
maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih
bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai
puncaknya.
Hal ini menunjukkan bahwa akal lebih
lemah disbanding ilmu, dan bahwasannya agama tidak bias dijangkau dengan
akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.
sumber: duniabaca.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar