Test Footer

Read more: http://madiuncool.blogspot.com/2011/12/cara-membuat-blog-tidak-bisa-di-klik.html#ixzz2N4R84AKS

Sabtu, 23 Maret 2013

Istri Nabi Muhammad Saw: Ummu Habibah

Ummu Habibah Beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan, ayahnya seorang pemuka Quraisy dan pemimpin orang-orang musyrik hingga Fathu Makkah. Meski bapaknya memaksa agar kembali kafir, akan tetapi beliau tetap beriman. Beliau rela menanggung beban yang berat dan melelahkan karena memperjuangkan akidahnya. Bapaknya, Abu Sufyan, tak kuasa memaksakan kehendaknya agar putrinya tetap dalam keadaan kafir.
Pada mulanya beliau menikah dengan seorang yang sama-sama telah memeluk Islam, yaitu Ubaidillah bin Jahsy. Tatkala orang-orang kafir berbuat kejam atas orang-orang Islam, Ramlah berhijrah menuju Habsyah bersama suaminya. Di sanalah beliau melahirkan anak perempuan yang diberi nama Habibah, sehingga beliau dikenal dengan sebutan Ummu Habibah.
Beliau senantiasa bersabar dalam memikul beban lantaran memperjuangkan agamanya dalam keterasingan dan hanya seorang diri, jauh dari keluarga dan kampung halaman, bahkan terjadi musibah yang tidak beliau sangka sebelumnya.
Beliau bercerita, “Aku melihat dalam mimpi, suamiku Ubaidillah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan bangun, kemudian aku memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi harinya suamiku telah memeluk agama nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya, namun dia tidak menggubrisnya.”
Si Murtad yang celaka ini mencoba dengan segala kemampuannya untuk membawa istrinya keluar dari agamanya, namun Ummu Habibah menolaknya dan dia telah merasakan lezatnya iman. Bahkan, beliau justru mengajak suaminya agar tetap dalam agama Islam, namun dia malah menolak dan membuang jauh ajakan tersebut dan dia semakin asyik dengan khamr. Hal itu berlangsung hingga dia meninggal dunia.
Hari-hari berlalu di bumi hijrah Ummu Habibah. Beliau berada dalam dua ujian, yakni ujian karena jauhnya dengan sanak saudara dan kampung halaman dan ujian karena menjadi seorang janda tanpa seorang pendamping.
Akan tetapi, beliau dengan keimanan yang tulus yang telah Allah karuniakan kepadanya mampu menghadapi ujian berat tersebut. Allah berkehendak untuk membulatkan tekadnya, maka dia melihat dalam mimpinya ada yang menyeru dia, “Wahai Ummul Mukminin….!” Karenanya beliau terperanjat bangun sebab mimpi tersebut. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah kelak akan menikahinya.
Setelah masa iddahnya, tiba-tiba ada seorang jariyah (budak perempuan) dari Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa dirinya telah dipinang oleh Rasulullah saw. Alangkah bahagianya Ummu Habibah mendengar kabar gembira itu hingga berkata, “Semoga Allah memberikan kabar gembira untukmu.”
Kemudian beliau menanggalkan perhiasan dan gelang kakinya untuk diberikan kepada jariyah karena sangat senangnya. Beliau kemudian meminta Khalid bin Sa’id bin al-’Ash untuk menjadi wakil baginya agar menerima lamaran Najasyi yang mewakili Rasulullah saw untuk menikahkan beliau dengan Ummu Habibah setelah beliau mendengar berita tentang keadaan Ummu Habibah dan ujian yang dihadapinya dalam mempertahankan agamanya.
Maka, pada suatu sore hari raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habasyah, lalu datanglah mereka dengan dikawal oleh Ja’far bin Abu Thalib, putra paman Nabi saw. Selanjutnya, Raja Najasyi menyambut, “Segala puji bagi Allah Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Aku bersaksi bahwa Tiada Tuhan yang Haq Selain Allah, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang telah diberitahukan oleh Isa bin Maryam Alaihi as-Salam. Amma Ba’du, sesungguhnya Rasulullah saw telah mengirim surat untukku supaya melamar Ummu Habibah binti Abu Sufyan dan Ummu Habibah telah menerima lamaran Rasulullah, adapun maharnya adalah 400 dinar.” Kemudian uang tersebut Beliau letakkan di depan kaum muslimin.
Kemudian, Khalid bin Sa’id berkata, “Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan dien yang haq untuk memenangkan dien-Nya, sekalipun orang-orang musyrik benci.
Amma Ba’du, akau terima lamaran Rasulullah saw dan aku nikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, semoga Allah memberkahi Rasulullah saw. Selanjutnya, Najasyi menyerahkan dinar tersebut kepada Khalid bin Sa’d, kemudian beliau terima. Najasyi mengajak para sahabat untuk mengadakan walimah dengan mengatakan, “Kami persilahkan Anda sekalian untuk duduk, karena sesungguhnya sunnah para nabi apabila menikah hendaklah makan-makan untuk merayakan pernikahan.”
Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dari Habasyah. Maka, Raululullah saw menyambut, “Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?” Sementara itu, Ummu Habibah juga datang bersama rombongan. Maka, bertemulah Rasululllah saw dengannya pada tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Ketika itu Ummu Habibah berumur 40 tahun.
Sebagai seorang istri, Ummu Habibah selalu menempatkan urusan agama di atas segala-galanya, beliau utamakan akidah daripada famili. Beliau telah mengumandangkan bahwa loyalitasnya hanya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Hal itu dibuktikan dengan sikapnya terhadap ayahnya Abu Sufyan, tatkala Abu Sufyan suatu ketika masuk ke dalam rumah Ummu Habibah, sedangkan beliau sudah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sufyan pada waktu itu meminta bantuan kepada beliau agar menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyyah yang telah dikhianati sendiri oleh orang-orang musyrik.
Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar Nabi saw, namun tiba-tiba dilipat oleh Ummu Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan,”Wahai putriku, aku tidak tahu, mengapa engkau melarangku duduk di atas tikar itu?”
Beliau menjawab dengan penuh keberanian dan tanpa rasa takut akan kemarahannya, ini adalah tikar Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah.” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, engkau akan menemui hal buruk sepeninggalku nanti.”
Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri, “Bahkan semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan juga kepada Anda wahai ayah, pemimpin Quraisy, apa yang menghalangimu masuk Islam? Engkau menyembah batu yang tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar.” Abu Sufyan kemudian pergi dengan marah dan membawa kegagalan.
Setelah Rasulullah saw wafat, Ummu Habibah tetap tinggal di rumahnya. Beliau tidak keluar kecuali untuk salat dan beliau tidak meninggalkan Madinah kecuali untuk haji hingga sampailah waktu wafatnya, tatkala berumur tujuh puluhan tahun. Beliau wafat setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan agamanya dan bersemangat atasnya, tinggi dan mulya jauh dari pengaruh jahiliyah, dan tidak menghiraukan nasab ketika bertentangan dengan akidahnya, semoga Allah meridhainya.
***
Sumber: Diadaptasi dari Nisa’ Haula ar-Rasuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar